Senin, 12 Desember 2016

PERSPEKTIF TERHADAP KONFLIK ANTAR KELOMPOK MAHASISWA

Jumlah mahasiswa yang masuk perguruan tinggi setiap tahunnya semakin meningkat, dengan berbagai ragam budaya dan karakter setiap mahasiswanya. Namun terdapat suatu fenomena sosial yang terjadi akibat dari keberagaman tersebut, yaitu terciptanya kelompok-kelompok kecil antar mahasiswa. Akibat dari persaingan antar kelompok mahasiswa, terciptalah konflik-konflik yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut diatas merupakan sebuah bagian dari teori konfik dimana dalam suatu masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, tetapi dengan adanya konflik pula maka akan tercipta sebuah perubahan sosial.
Mahasiswa yang membentuk kelompok-kelompok kecil didasari oleh solidaritas yang timbul secara spontan, bersifat emosional daripada rasional serta memiliki latar belakang pemikiran yang relatif sama namun secara hierarki tidak terstruktur. Yang menjadi permasalahan dari kelompok-kelompok ini adalah saling menunjukan kehebatan dan eksistensi antar kelompok tersebut dengan persaingan yang tidak sehat yang berujung pada konflik. Hal lain yang terjadi ialah timbulnya masalah internal kelompok baik berupa persaingan, rasa saling curiga maupun ketegangan dalam kelompok itu sendiri yang mengakibatkan keluarnya sebagian anggota untuk bergabung dengan kelompok lain atau membentuk kelompok baru. Ini merupakan fakta empiris dalam kehidupan sosial dan merupakan akibat dari suatu situasi yang secara teoritis dikaitkan dengan kecenderungan-kecenderungan fundamental perilaku manusia. Fenomena ini apabila terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan memecah belah tatanan dari sebuah organisasi kemahasiswaan yang lebih besar (SEMA/BEM) dalam institusi Perguruan Tinggi.
Namun demikian menurut Lewis Coser (1913-2003) bahwa konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan, mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Coser pula mengakui bahwa konflik itu dapat membahayakan persatuan. Oleh karena itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya tersebut dapat dikurangi atau bahkan dapat diredam. Baginya, Katup penyelamat (savety valve) dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, atau singkatnya dapat kita sebut dengan mediator. Katup penyelamat ini bisa berupa institusi yang menempung rasa ketidak puasan atas sebuah sistem atau struktur. Dengan adanya katup penyelamat (mediator) tersebut, kelompok kelompok yang bertikai dapat mengungkapkan penyebab dari munculnya konflik tersebut. Singkatnya yaitu perlunya pengelolaan konflik untuk kearah yang lebih baik.
            Dari fakta diatas ini merupakan salah satu dinamika sosial dalam kehidupan kampus, untuk itu diperlukan peran pimpinan organisasi kemahasiswaan dalam menyalurkan aspirasi serta menyatukan persepsi setiap kelompok tersebut dengan pendekatan sosiologis agar tercipta sebuah sifat kohesi dalam organisasi kemahasiswaan serta mendorong agar mahasiswa dapat bergerak (lokomosi) ke arah kegiatan-kegiatan yang mempunyai daya tarik positif serta menjauhi kegiatan yang bersifat negatif. Dalam sifat kohesi terdapat kekuatan yang membuat para anggota kelompok yang merupakan anggota organisasi kemahasiswaan merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi kemahasiswaan. Dengan cara demikian maka dorongan-dorongan agresif atau permusuhan/perselisihan dapat diungkapkan dengan cara yang tidak merusak solidaritas dan dapat mengurangi ketegangan sehingga terciptanya sebuah solidaritas yang kuat untuk mencapai tujuan bersama.

Nama   : Rudy Noorwansyah
NPM   : 14.01.1620
Ketua Senat Mahasiswa STISIP Merdeka Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar