Jumlah
mahasiswa yang masuk perguruan tinggi setiap tahunnya semakin meningkat, dengan
berbagai ragam budaya dan karakter setiap mahasiswanya. Namun terdapat suatu
fenomena sosial yang terjadi akibat dari keberagaman tersebut, yaitu
terciptanya kelompok-kelompok kecil antar mahasiswa. Akibat dari persaingan
antar kelompok mahasiswa, terciptalah konflik-konflik yang tidak dapat
dihindari. Hal tersebut diatas merupakan sebuah bagian dari teori konfik dimana
dalam suatu masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, tetapi dengan
adanya konflik pula maka akan tercipta sebuah perubahan sosial.
Mahasiswa
yang membentuk kelompok-kelompok kecil didasari oleh solidaritas yang timbul
secara spontan, bersifat emosional daripada rasional serta memiliki latar
belakang pemikiran yang relatif sama namun secara hierarki tidak terstruktur. Yang
menjadi permasalahan dari kelompok-kelompok ini adalah saling menunjukan
kehebatan dan eksistensi antar kelompok tersebut dengan persaingan yang tidak
sehat yang berujung pada konflik. Hal lain yang terjadi ialah timbulnya masalah
internal kelompok baik berupa persaingan, rasa saling curiga maupun ketegangan
dalam kelompok itu sendiri yang mengakibatkan keluarnya sebagian anggota untuk
bergabung dengan kelompok lain atau membentuk kelompok baru. Ini merupakan
fakta empiris dalam kehidupan sosial dan merupakan akibat dari suatu situasi
yang secara teoritis dikaitkan dengan kecenderungan-kecenderungan fundamental
perilaku manusia. Fenomena ini apabila terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan
memecah belah tatanan dari sebuah organisasi kemahasiswaan yang lebih besar
(SEMA/BEM) dalam institusi Perguruan Tinggi.
Namun
demikian menurut Lewis Coser (1913-2003) bahwa konflik merupakan cara atau alat
untuk mempertahankan, mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang
ada. Coser pula mengakui bahwa konflik itu dapat membahayakan persatuan. Oleh
karena itu, perlu dikembangkan cara agar bahaya tersebut dapat dikurangi atau bahkan
dapat diredam. Baginya, Katup penyelamat (savety valve) dapat diartikan sebagai
“jalan keluar yang meredakan permusuhan”, atau singkatnya dapat kita sebut
dengan mediator. Katup penyelamat ini bisa berupa institusi yang menempung rasa
ketidak puasan atas sebuah sistem atau struktur. Dengan adanya katup penyelamat
(mediator) tersebut, kelompok kelompok yang bertikai dapat mengungkapkan
penyebab dari munculnya konflik tersebut. Singkatnya yaitu perlunya pengelolaan
konflik untuk kearah yang lebih baik.
Dari
fakta diatas ini merupakan salah satu dinamika sosial dalam kehidupan kampus,
untuk itu diperlukan peran pimpinan organisasi kemahasiswaan dalam menyalurkan
aspirasi serta menyatukan persepsi setiap kelompok tersebut dengan pendekatan
sosiologis agar tercipta sebuah sifat kohesi dalam organisasi kemahasiswaan
serta mendorong agar mahasiswa dapat bergerak (lokomosi) ke arah kegiatan-kegiatan
yang mempunyai daya tarik positif serta menjauhi kegiatan yang bersifat
negatif. Dalam sifat kohesi terdapat kekuatan yang membuat para anggota
kelompok yang merupakan anggota organisasi kemahasiswaan merasa bahwa mereka
adalah bagian dari organisasi kemahasiswaan. Dengan cara demikian maka
dorongan-dorongan agresif atau permusuhan/perselisihan dapat diungkapkan dengan
cara yang tidak merusak solidaritas dan dapat mengurangi ketegangan sehingga
terciptanya sebuah solidaritas yang kuat untuk mencapai tujuan bersama.
Nama : Rudy Noorwansyah
NPM :
14.01.1620
Ketua Senat Mahasiswa
STISIP Merdeka Manado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar